Minggu, 12 Mei 2013

KETIKA WETON (HARI LAHIR) BERBICARA





Kota Kudus tepatnya desa Krandon menjadi saksi bisu lahirnya seorang bayi dari pasangan Chamami Tolchah dan Masfiyah yang diberi nama  M. Rikza Chamami. Malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih M. Rikza yang masih bayi yang seharusnya diasuh oleh kedua orang tuanya malah sebaliknya harus dibuang oleh kedua orang tuanya dan diasingkan dari keluarganya. Karena sudah menjadi tradisi masyarakat didesa Krandon yang masih berpegang pada tradisi kuno yang turun temurun dari nenek moyang, bahwa seorang anak yang lahir dengan weton yang sama dengan salah satu dari kedua orang tuanya, maka bayi tersebut harus dibuang dan diasingkan dari keluarganya. Hal tersebut bertujuan agar anak tidak bertengkar dengan ibunya. Nasib tersebut menimpa M. Rikza karena lahir bertepatan dengan weton yang sama dengan ibunya Masfiyah yakni Kamis kliwon.
M. Rikza yang lahir pada tanggal 20 Maret 1980 dibuang dari keluarganya dan ditemukan oleh neneknya. Sejak saat itu, hak asuh sepenuhnya secara tradisi dipegang secara penuh oleh neneknya Saudah yang pada waktu itu masih hidup. Walaupun M. Rikza diasuh oleh neneknya, tetapi hal tersebut tidak menghalangi kedua orang tuanya untuk mecurahkan kasih sayangnya dan selalu memberi perhatian.
 Seiring berjalannya waktu M. Rikza tumbuh mejadi seorang bocah. Seperti anak-anak yang lazim pada umumnya M. Rikza suka bermain terutama permainan tradisional seperti dolanan sodoran, setinan (kelereng), dan lain-lain. Walaupun senang dengan bermain, tetapi M. Rikza tidak pernah absen untuk belajar ilmu pengetahuan  ataupun pergi ketempat ulama’ (yang pandai ilmu agama) untuk belajar mengaji. Kedua orang tuanya biasa mendidik M. Rikza dengan prinsip tirakat (hidup tidak bermewah-mewahan), dan dibiasakan untuk selalu peduli terhadap orang lain. Kedua orang tua M. Rikza  selalu mengajari tentang banyak hal seperti silaturahmi, ziarah (mengunjungi makam para waliyullah), dan terlebih ditekankan pada ilmu agama, karena  menurut kedua orang tuanya menerapkan ilmu agama sejak kecil akan menjadi benteng untuk kehidupan di masa yang akan datang.
M. Rikza terus berkembang melanjutkan sekolah dimulai dari sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi negeri di IAIN Semarang. Itupun tak luput dari perjuangannya dan juga perjuangan kedua orang tuanya yang terus memberi dukungan baik secara moril maupun materiil. Secara materi kedua orang tuanya biasa membuat sandal dan M. Rikza ikut andil untuk memasarkan hasil buatan sandal tersebut yang kemudian dijualnya di pasar-pasar.

Dengan modal prinsip “miskin boleh, tapi sukses harus”, sehingga menjadikan M. Rikza menjadi seorang yang tekun dan ulet demi meraih kesuksesan. Dengan kecintaannya akan ilmu pengetahuan mengantarkan M. Rikza dipercaya menjadi seorang dosen di IAIN Walisongo Semarang sekaligus merangkap jabatan sebagai sekretaris di bagian laboratorium pendidikan.