Kota Kudus
tepatnya desa Krandon menjadi saksi bisu lahirnya seorang bayi dari pasangan Chamami
Tolchah dan Masfiyah
yang diberi nama M. Rikza Chamami.
Malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih M. Rikza yang masih bayi yang
seharusnya diasuh oleh kedua orang tuanya malah sebaliknya harus dibuang oleh
kedua orang tuanya dan diasingkan dari keluarganya. Karena sudah menjadi
tradisi masyarakat didesa Krandon yang masih berpegang pada tradisi kuno yang turun
temurun dari nenek moyang, bahwa seorang anak yang lahir dengan weton yang sama
dengan salah satu dari kedua orang tuanya, maka bayi tersebut harus dibuang dan
diasingkan dari keluarganya. Hal tersebut bertujuan agar anak tidak bertengkar
dengan ibunya. Nasib tersebut menimpa M. Rikza karena lahir bertepatan dengan
weton yang sama dengan ibunya Masfiyah yakni Kamis kliwon.
M. Rikza yang
lahir pada tanggal 20 Maret 1980 dibuang dari keluarganya dan ditemukan oleh
neneknya. Sejak saat itu, hak asuh sepenuhnya secara tradisi dipegang secara
penuh oleh neneknya Saudah yang pada waktu itu masih hidup. Walaupun M. Rikza
diasuh oleh neneknya, tetapi hal tersebut tidak menghalangi kedua orang tuanya
untuk mecurahkan kasih sayangnya dan selalu memberi perhatian.
Seiring berjalannya waktu M. Rikza tumbuh
mejadi seorang bocah. Seperti anak-anak yang lazim pada umumnya M. Rikza suka
bermain terutama permainan tradisional seperti dolanan sodoran, setinan
(kelereng), dan lain-lain. Walaupun senang dengan bermain, tetapi M. Rikza
tidak pernah absen untuk belajar ilmu pengetahuan ataupun pergi ketempat ulama’ (yang pandai ilmu agama) untuk belajar mengaji. Kedua orang
tuanya biasa mendidik M. Rikza dengan prinsip tirakat (hidup tidak bermewah-mewahan), dan dibiasakan untuk selalu
peduli terhadap orang lain. Kedua orang tua M. Rikza selalu mengajari tentang banyak hal seperti
silaturahmi, ziarah (mengunjungi
makam para waliyullah), dan terlebih ditekankan pada ilmu agama, karena menurut kedua orang tuanya menerapkan ilmu
agama sejak kecil akan menjadi benteng untuk kehidupan di masa yang akan datang.
M. Rikza
terus berkembang melanjutkan sekolah dimulai dari sekolah dasar sampai ke
perguruan tinggi negeri di IAIN Semarang. Itupun tak luput dari perjuangannya
dan juga perjuangan kedua orang tuanya yang terus memberi dukungan baik secara
moril maupun materiil. Secara materi kedua orang tuanya biasa membuat sandal
dan M. Rikza ikut andil untuk memasarkan hasil buatan sandal tersebut yang
kemudian dijualnya di pasar-pasar.
Dengan
modal prinsip “miskin boleh, tapi sukses
harus”, sehingga menjadikan M. Rikza menjadi seorang yang tekun dan ulet
demi meraih kesuksesan. Dengan kecintaannya akan ilmu pengetahuan mengantarkan M.
Rikza dipercaya menjadi seorang dosen di IAIN Walisongo Semarang sekaligus
merangkap jabatan sebagai sekretaris di bagian laboratorium pendidikan.